Mukhlis Hasyim… Tidak perlu aku deskripsikan kedua suku kata itu. Biarlah ia menyimpan rahasianya sendiri. Bagi ibu-bapakku, nama ini sudah cukup untuk memanggilku untuk berbagi kebahagian dan kasih sayang. Dan bagi sahabat-sahabatku, nama ini sudah cukup untuk mengingatku tuk melemparkan keramahanya padaku.
Pada hari kamis 31 Desember 1979, aku berteriak sekeras-kerasnya mengeluarkan tangisku untuk mengabarkan kepada semua orang bahwa aku telah ada di dunia bersama mereka. Aku juga ingin buktikan kepada mereka bahwa aku juga bisa hidup tuk berikan baktiku kepada sang pencipta.
***
Perjalanan 36 jam dari Jakarta tidak cukup untuk menemukan sebuah kampung yang bernama ‘Pendem’. Sebuah perkampungan kecil yang sangat jauh dari deru mobil dan suara mesin industri yang menebarkan sejuta polusi. Juga sangat jauh dari suara-suara kasar dan menipu hanya untuk mendapatkan sesuap nasi. Apalagi dari suara interupsi anggota Dewan yang kabarnya hanya mencari popularitas. Sebuah kampung yang hanya dihiasi dengan lambaian pepohonan yang diiringi dengan suara kicau burung di siang hari dan suara kodok di malam hari yang bernyanyi dengan iramanya sendiri.
Yaaa, di situlah aku dilahirkan dan menjalani masa-masa kecilku. Indah sekali…. Seandainya anak-anak kota seusiaku tau, mungkin ia akan lebih memilih bermain bersamaku di lumpur, debu dan air yang begitu melahirkan keceriaan dari pada dengan seribu mainan modern tapi sama sekali tak memberikan kebebasan dan sulitnya mendapatkan kepercayaan.
***
Pertumbuhanku yang apa adanya membuatku harus masuk SD di usia tujuh tahun. Kata guruku, teman-temanku dan orang-orang di sekitarku, aku adalah anak yang pintar. Ya, cukup lah untuk sekedar menaklukkan teman-teman sekelasku yang tidak memiliki baground didikan orang tua yang memadai sebab mereka hanyalah seorang petani.
Hal yang sama ketika aku memasuki bangku SLTP. Aku lebih memilih Madrasah Tsnawiyah swasta dari pada sekolah bermutu yang lain. Sebab, memang itulah yang terdekat dari rumahku. Aku kembali memaksa teman-teman sekelasku untuk mengatakan aku pintar sebab nilaiku selalu di atas mereka.
Ternyata, aku hanyalah jagoan kampung yang hanya berani menantang mereka yang terbiasa dengan sawah, cangkul, sabit yang setiap hari bermain dengan sapi piaraannya. Aku mengaku kalah ketika duduk di bangku SLTA (MAN 2 Mataram). Aku mengaku takluk oleh mereka yang terlahir dari darah kiyai, guru, pengusaha dan penguasa. Mungkin mereka lebih banyak minum susu.
Aku merenung, bukankah kesuksesan tak hanya datang karena susu? Ternyata benar, di IAIN Mataram, tempatku kuliah dulu, aku pernah mendengar bahwa “IQ yang katanya dari susu itu buka dominan mempengaruhi kesuksesan. Ia hanya berperan 20%. Sebliknya, 80 % nya dipengaruhi oleh EQ,” kata dosenku yang ternyata mengutif kalimatnya Daniel Goalman, seorang peneliti ilmu pendidikan itu.
Lebih meyakinkan lagi setelah PMII menghantarkanku menjadi Presiden Mahasiswa IAIN Mataram. Artinya, minimal aku sudah mulai dipercaya untuk mengatur mereka meskipun hanya di lingkungan kampus yang tak banyak menyimpan mutu. Aku mau balas dendam kepada anak kiyai, pengusaha dan penguasa yang sombong itu. Aku ingin sekali berkata kepada mereka “Meskipun aku anak seorang petani, tapi aku sudah siap menggantikan bapak-bapak kalian..!!!”.
Setelah aku pikir-pikir, ternyata aku terlalu emosional. Ternyata aku harus lebih siap lagi. Kesadaran itulah yang akhirnya membawaku ke Jakarta dan bertekad seperti mereka yang berdaya. Aku ingin sekali menyelesaikan Pascasarjana. Akihirnya, aku diterima di Universitas Indonesia, yang kata orang adalah kampus kaum borjuis dan terhormat. “Aku tidak perduli, sebab kini aku sudah menjadi anak kota. Aku sudah menjadi mahasiswa pascasarjana UI dengan biaya hidup sendiri. Aku telah mandiri”. Jangan sewot aku berbangga, sebab itulah yang aku punya. Aku telah lama mengimpikannya dan harus merebut dan mempertahankannya, meskipun harus jauh dari mereka yang menyayngiku.
***
Dengan sedikit gambaran kebesaran yang aku miliki, aku ingin berbagi dengan kedua orang tuaku. Setelah aku pulang dengan busana kesuksesanku, aku ingin berbakti kepada mereka. Aku ingin memanjakan mereka. Tapi sungguh Allah berkehendak lain. Pada hari Minggu dini hari, tanggal 17 Juni 2007, Ibuku dipanggil Yang Maha Kuasa ketika aku belum berada di sampingnya. Sungguh aku belum sempat mengabarkan kepadanya bahwa dia telah sukses melahirkanku, membesarkanku, mendidikku.
Tetapi itulah rahasia Tuhan… Aku lega menerimanya sebab aku tahu, seluruh hidupnya dia telah persembahkan untuk penciptanya. Ia adalah hamba Allah yang bertaqwa.
***
Sebulan sebelumnya, tak ada satu isyarat pun yang datang tuk memberitahukan bahwa Ia menyalamiku tuk berpamitan dari pandangan mataku untuk selamanya. Pertengahan April 2007 lalu, aku pulang menemuinya sekedar tuk bertanya keadaannya. Ia begitu gembira, menyambutku dengan hangat dan memberiku segala perhatian yang telah lama ia tidak berikan. Maklum, aku berada di rantau. Malam itu ia begitu manja kepadaku. Ia minta dipijit, meskipun akhirnya harus meninggalkannya kembali menjalankan kewajibanku di Jakarta demi masa depanku.
Dengan lega aku meninggalkannya disertai penuh harapan bahwa di hari lebaran nanti aku akan datang kembali membawakan sejuta kasih sayang. Sebulan di Jakarta, ternyata, tanpa ada isyarat sedikitpun yang datang tuk mengabarkan bahwa aku kan menerima ujian berat di hari esok.
Malam itu, malam minggu. Aku hanya menghabiskan waktuku di tempat biasa aku bermalam minggu. Tempat itu tidak lain adalah Sekretariat PB PMI. Maklum, pendatang baru yang belum bertemu cinta.
Pukul 02.30 WIB, aku tiba-tiba tersentak oleh suara dering HP. Ku lihat nomor panggilan, dengan jelas tertulis nama "My Uncle" yang berarti ia adalah pamanku. Aku mulai berprasangka buruk. "Tidak biasanya ia meneleponku dini hari seperti itu. Apalagi di Indonesia Bagian Tengah telah menunjukkan pukul 01.30. Ada apa gerangan?," gerutuku dalam hati, sesaat sebelum mengangkat telephon.
Dalam hatiku sempat terfikir, 'pasti ada musibah'. Kalupun ada musibah, pasti orang terdekatku. Aku tidak merasakan adanya kesabaran dalam benak Pamanku tuk segera memberikan kabar. Ternyata benar, memulai kata-katanya, pamanku tak mampu berkata. Ia hanya mengucapkan beerapa kata. "Pulanglah malam ini juga, ibumu dirumah sakit".
Aku sudah berfikir, tidak mungkin ia menyuruhku pulang malam ini juga, kalau tidak ada hal yang luar biasa. Aku mulai pasrah, aku lemas dan hanya mampu mengucapkan istigfar. Aku ambil air wudlu dan ku do'akan semoga aku diberi kesempatan agar ibuku masih bisa menyapaku walaupun dengan satu nafas saja. Aku berdo'a...
Aku kembali dikejutkan oleh suara dering handphoneku. Aku angkat dan tanpa mengabariku, aku sudah mengambil kesimpulan bahwa ibuku telah pergi tuk selamanya. Sebab, sebelum mereka memberitahuku, aku telah mendengar suara tangis yang menandakan bahwa ada yang hilang di antara mereka.
Benar, ternyata belaian tangan, pijatanku sebulan yang lalu adalah salam terakhir untukku. SELAMAT JALAN IBU, Do'aku menyertaimu....


0 komentar:
Posting Komentar